(Foto: Nate Bittinger/ Getty Images Pro) (Foto: Nate Bittinger/ Getty Images Pro)

Menghadapi Prospek Ekonomi yang Kian Meredup: Bagaimana G20 Dapat Merespon

Oleh Kristalina Georgieva

Minggu ini, di saat para menteri beserta gubernur bank-bank sentral G20 sedang berkumpul di Bali, mereka menghadapi prospek ekonomi global yang telah meredup secara signifikan.

Terakhir kalinya G20 bertemu bulan April lalu, IMF baru saja memangkas perkiraan pertumbuhan globalnya menjadi 3,6 persen untuk tahun ini dan selanjutnya—dan kami pun memperingatkan bahwa kondisi bisa memburuk mengingat adanya potensi risiko penurunan. Saat ini, beberapa risiko tersebut telah terwujud. Berbagai krisis yang dihadapi dunia pun semakin intens.

Tragedi kemanusiaan dari perang di Ukraina semakin parah. Demikian pula dengan dampak ekonominya, terutama guncangan harga komoditas yang memperlambat pertumbuhan dan memperburuk krisis biaya hidup yang mempengaruhi ratusan juta orang—terutama orang miskin yang tidak mampu menghidupi keluarga mereka. Situasi ini hanya akan memburuk.

Tingkat inflasi lebih tinggi dari yang diprakirakan, bahkan meluas ke sektor selain pangan dan energi. Hal ini telah mendorong bank-bank sentral utama untuk mengumumkan pengetatan moneter lebih lanjut sebagai hal yang amat diperlukan, tetapi akan membebani upaya-upaya pemulihan. Disrupsi terkait pandemi yang terus berlanjut, terutama di Tiongkok, dan hambatan-hambatan baru pada rantai pasokan global menghambat aktivitas ekonomi.

Akibatnya, indikator terbaru menyiratkan kuartal kedua yang lemah—dan kami akan memproyeksikan penurunan lebih lanjut bagi pertumbuhan global tahun 2022 dan 2023 dalam World Economic Outlook Update kami yang akan keluar di bulan ini.

Tentu, prospek ekonomi tersebut memang amat tidak pasti. Bayangkan, adanya gangguan lanjutan dalam pasokan gas alam ke Eropa dapat menjerumuskan perekonomian banyak negara ke dalam resesi dan memicu krisis energi global. Ini hanyalah salah satu faktor yang dapat memperburuk situasi yang sudah sulit.

2022 akan menjadi tahun yang menantang—dan 2023 kemungkinan akan lebih berat dengan bertambahnya risiko resesi.

Karena itulah, kita perlu tindakan tegas dan kerja sama internasional yang kuat, dipimpin oleh G20. Laporan baru kami untuk G20 menguraikan kebijakan yang dapat digunakan negara untuk mengarungi lautan permasalahan ini. Ada tiga prioritas yang saya soroti.

Pertama, negara harus mengerahkan segala upaya untuk menurunkan tingkat inflasi yang tinggi

Mengapa? Karena tingkat inflasi yang tinggi secara terus-menerus dapat menenggelamkan upaya pemulihan dan semakin merusak standar hidup, terutama bagi masyarakat rentan. Inflasi telah mencapai level tertinggi selama beberapa dekade di banyak negara, dengan inflasi IHK ( headline inflation) dan inti (core inflation) yang terus meningkat (Gambar 1).

blog071322-bahasa-chart1

Hal ini telah memicu siklus pengetatan moneter yang semakin tersinkronisasi: 75 bank sentral—atau sekitar tiga perempat dari bank sentral yang kami pantau—telah menaikkan suku bunga sejak Juli 2021, dan mereka telah melakukannya rata-rata 3,8 kali. Untuk negara emerging dan berkembang, di mana kebijakan suku bunga tersebut dinaikkan dengan lebih cepat, total peningkatan rata-rata adalah 2,3 poin persentase—hampir dua kali lipat negara maju, yaitu 1,7 poin persentase.

Sebagian besar bank sentral perlu terus memperketat kebijakan moneter secara tegas. Ini sangat mendesak untuk dilakukan, terutama di negara dengan ekspektasi inflasi yang mulai mengalami de-anchor (yaitu perubahan harga-harga dalam jangka pendek mempengaruhi ekspektasi inflasi jangka panjang). Tanpa adanya tindakan, negara-negara ini dapat menghadapi spiral kerusakan upah-harga yang akan membutuhkan pengetatan moneter lebih kuat, dengan dampak yang lebih besar lagi terhadap pertumbuhan dan lapangan kerja.

Bertindak sekarang juga tidak akan semenyakitkan jika terlambat bertindak.

Yang tidak kalah pentingnya yaitu komunikasi yang jelas tentang kebijakan ini, untuk menjaga kredibilitas kebijakan karena besarnya risiko penurunan (downside). Misalnya, kejutan inflasi yang berkelanjutan akan memerlukan pengetatan moneter yang lebih tajam di luar perkiraan pasar, dan berpotensi menyebabkan volatilitas dan aksi penjualan (sell-off) lanjutan di pasar aktiva berisiko maupun pasar obligasi negara. Hal ini kemudian dapat mendorong arus keluar modal dari negara-negara emerging dan berkembang.

Apresiasi dolar AS bertepatan dengan arus keluar portofolio dari pasar negara emerging: mereka mengalami arus keluar selama empat bulan berturut-turut pada bulan Juni, dan ini merupakan yang terpanjang dalam tujuh tahun. Hal ini kian menambah tekanan pada negara-negara yang rentan.

Jika guncangan eksternal begitu mengganggu sehingga tidak dapat diserap oleh nilai tukar yang fleksibel belaka, pembuat kebijakan harus siap untuk bertindak. Misalnya: melalui intervensi valuta asing atau langkah-langkah manajemen aliran modal dalam skenario krisis, demi membantu ekspektasi anchor (anchor expectations). Selain itu, diperlukan tindakan dini untuk mengurangi ketergantungan akan pinjaman mata uang asing di mana tingkat utangnya tinggi. Untuk membantu respons negara-negara dalam kondisi demikian, kami baru-baru ini memperbarui pandangan institusional IMF tentang isu ini.

IMF juga ditingkatkan untuk melayani para negara anggota dengan cara lain, termasuk memberikan nasihat tentang pengelolaan aset cadangan dan bantuan teknis untuk memperkuat komunikasi bank sentral.

Tujuannya adalah untuk mengantarkan semua orang dengan aman dalam menyeberangi siklus pengetatan ini.

Kedua, kebijakan fiskal harus membantu—dan tidak menghalangi—upaya bank sentral untuk menurunkan inflasi

Negara-negara yang menghadapi tingkat utang tinggi juga perlu memperketat kebijakan fiskal mereka. Hal ini akan membantu mengurangi beban pinjaman yang semakin mahal dan—secara bersamaan—mendukung upaya moneter untuk menjinakkan inflasi.

Di negara-negara di mana pemulihan dari pandemi lebih maju, pengalihan dukungan fiskal luar biasa akan membantu mengurangi permintaan dan dengan demikian mengurangi tekanan harga.

Namun itu baru sepotong dari cerita keseluruhan. Beberapa masyarakat akan membutuhkan tambahan dukungan, bukan pengurangan.

Hal ini membutuhkan langkah-langkah yang ditargetkan dan bersifat sementara untuk mendukung rumah tangga yang rentan menghadapi guncangan-guncangan baru, terutama terkait harga energi atau pangan yang tinggi. Dalam situasi ini, bantuan langsung tunai terbukti efektif dibandingkan dengan subsidi distorsif atau pengontrolan harga, yang biasanya gagal mengurangi biaya hidup secara berkelanjutan.

Pada jangka menengah, reformasi struktural juga penting untuk mendorong pertumbuhan. Pikirkan mengenai kebijakan pasar tenaga kerja yang dapat membantu masyarakat bergabung dengan angkatan kerja, terutama bagi perempuan.

Langkah-langkah baru harus netral terhadap anggaran, artinya, didanai melalui pendapatan baru atau pengurangan pengeluaran di tempat lain tanpa menimbulkan utang baru dan menghindari untuk bertentangan dengan kebijakan moneter. Era baru dengan tingginya utang hingga memecahkan rekor, juga tingginya tingkat suku bunga, membuat semua hal tersebut semakin penting.

Mengurangi utang sekarang menjadi kebutuhan mendesak—terutama di negara dan ekonomi emerging yang memiliki kewajiban dalam mata uang asing ( forex) yang lebih rentan terhadap pengetatan kondisi keuangan global, dan di mana biaya pinjaman melonjak.

Imbal hasil obligasi forex negara telah mencapai lebih dari 10 persen di sekitar sepertiga negara emerging, mendekati level tertinggi yang terakhir terlihat setelah krisis keuangan global. Negara-negara emerging dengan ketergantungan lebih besar pada pinjaman domestik, misalnya di Asia, telah lebih terisolasi dari dampaknya. Namun, perluasan tekanan inflasi dan kebutuhan untuk mengetatkan kebijakan moneter domestik secara lebih cepat dapat mengubah perhitungan tersebut.

blog071322-bahasa-chart2

Situasinya semakin parah bagi perekonomian yang hampir—atau berada dalam—kesulitan utang, termasuk 30 persen negara-negara pasar emerging dan 60 persen negara-negara berpenghasilan rendah.

Sekali lagi, IMF ada untuk para anggotanya dengan menawarkan saran dan analisis sesuai kebutuhan, serta kerangka pinjaman yang lebih luwes untuk mendukung untuk mendukung negara-negara di saat krisis. Hal ini termasuk pembiayaan darurat, peningkatan batas akses, likuiditas dan jalur kredit baru, serta alokasi SDR tahun lalu sebesar $650 miliar yang pertama kali dalam sejarah .

Di luar upaya tersebut, sangat mendesak untuk adanya tindakan yang tegas dari seluruh pihak yang berkepentingan untuk meningkatkan dan menerapkan Kerangka Kerja Umum G20 (G20 Common Framework) untuk perlakuan pinjaman. Pemberi pinjaman skala besar—baik yang negara maupun swasta—perlu meningkatkan peran mereka. Waktu tidaklah berpihak pada kita. Sangat penting bagi komite kreditur Chad, Ethiopia, dan Zambia untuk memberikan kemajuan sebanyak mungkin pada pertemuan mereka bulan ini.

Ketiga, kita membutuhkan dorongan baru untuk kerja sama global—dipimpin oleh G20

Untuk menghindari potensi krisis dan meningkatkan pertumbuhan serta produktivitas, tindakan internasional yang lebih terkoordinasi amatlah dibutuhkan. Kuncinya adalah untuk membangun kemajuan terkini di berbagai bidang, mulai dari perpajakan dan perdagangan hingga kesiapsiagaan menghadapi pandemi dan perubahan iklim. Dana baru G20 sebesar $1,1 miliar untuk pencegahan dan kesiapsiagaan pandemi menunjukkan sesuatu yang mungkin, seperti halnya juga keberhasilan baru-baru ini di World Trade Organization.

Yang paling mendesak dari semuanya adalah tindakan untuk mengurangi krisis biaya hidup, yang telah mendorong 71 juta orang tambahan di negara-negara termiskin di dunia ke dalam jurang kemiskinan ekstrem, menurut laporan United Nations Development Program me. Di saat kekhawatiran yang meningkat terhadap pasokan makanan dan energi, risiko ketidakstabilan sosial pun meningkat.

Untuk menghindari kelaparan, kekurangan gizi dan migrasi lebih lanjut, negara-negara maju di dunia harus memberikan dukungan mendesak bagi mereka yang membutuhkan, termasuk dengan pembiayaan bilateral dan multilateral baru, terutama melalui World Food Programme.

Sebagai langkah segera, negara-negara perlu membatalkan pembatasan yang diberlakukan baru-baru ini terkait ekspor makanan. Mengapa? Karena pembatasan semacam itu berbahaya dan tidak efektif dalam menstabilkan harga domestik. Langkah-langkah lebih lanjut juga diperlukan untuk memperkuat rantai pasokan dan membantu negara-negara rentan untuk mengadaptasi produksi pangan dalam rangka mengatasi perubahan iklim.

blog071322-bahasa-chart3

Di sini, IMF juga siap membantu. Kami bekerja sama dengan para mitra internasional, termasuk melalui inisiatif baru mengenai ketahanan pangan multilateral . Selain itu, Resilience and Sustainability Trust kami yang baru akan menyediakan $45 miliar dalam pembiayaan lunak ( concessional financing) untuk negara-negara yang rentan—dengan tujuan mengatasi tantangan jangka panjang seperti perubahan iklim dan pandemi di masa yang akan datang. Dan kami siap untuk berbuat lebih banyak.

Kondisi yang teramat pelik di berbagai negara Afrika saat ini amatlah penting untuk dipertimbangkan. Dalam pertemuan saya dengan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral dari benua tersebut minggu ini, banyak yang menyoroti efek dari kejutan-kejutan yang sepenuhnya eksternal, yang telah mendorong ekonomi mereka ke ambang batas. Efek dari harga pangan yang lebih tinggi amat dirasakan masyarakat, karena makanan merupakan bagian terbesar dari pendapatan mereka. Tekanan inflasi, fiskal, utang dan neraca pembayaran semuanya mengalami peningkatan. Sebagian besar negara sekarang benar-benar tertutup dari pasar keuangan global; dan, tidak seperti daerah lain, mereka tidak memiliki pasar domestik yang besar untuk dituju. Dengan latar belakang masalah tersebut, mereka menyerukan kepada masyarakat internasional untuk mengambil langkah-langkah berani untuk mendukung rakyat mereka. Ini adalah panggilan yang perlu kita perhatikan.

Di saat G20 bertemu untuk menghadapi ‘lautan masalah’ ini, kita semua bisa mengambil hikmah dari peribahasa Bali yang mencerminkan semangat yang kita perlukan sekarang—menyama braya, “kita semua sanak saudara.”

*****

Kristalina Georgieva (biografi dalam link)