Mobil dan motor melaju di kawasan bisnis di Jakarta, Indonesia, di mana pertumbuhan diproyeksikan sebesar 5.1 persen pada tahun ini (foto: AsianDream/iStock)

Mobil dan motor melaju di kawasan bisnis di Jakarta, Indonesia, di mana pertumbuhan diproyeksikan sebesar 5.1 persen pada tahun ini (foto: AsianDream/iStock)

Menjaga Asia tetap Terdepan di Tengah Meningkatnya Risiko

11 Oktober, 2018

Asia terus menjadi penggerak ekonomi global, dengan prakiraan pertumbuhan sebesar 5,6 persen pada tahun ini dan 5,4 persen pada tahun 2019. Namun terdapat risiko di hadapan, yang diakibatkan oleh kondisi keuangan yang lebih ketat, dan momentum pelambatan di Tiongkok, demikian menurut laporan regional terkini IMF.

Tautan yang berhubungan

 

Laporan Regional Economic Outlook: Asia and Pacific juga menyebutkan tantangan-tantangan jangka panjang untuk prospek pertumbuhan Asia, termasuk pelambatan produktivitas, penuaan penduduk, dan dampak revolusi digital terhadap masa depan pekerjaan.

Kebijakan-kebijakan untuk menghadapi tantangan-tantangan ini seharusnya membantu memperkuat daya tahan perekonomian, mempertahankan pertumbuhan, dan memastikan bahwa manfaatnya dirasakan secara luas.

“Asia telah mencapai kemajuan perekonomian yang sangat baik pada beberapa dekade terakhir, dengan mengentaskan ratusan juta orang dari kemiskinan dan gelombang negara-negara yang secara berturut-turut mengalami transisi menuju status negara berpendapatan menengah dan bahkan ekonomi maju. Tidak diragukan kawasan ini menghadapi tantangan-tantangan penting, namun hal ini dapat diatasi dengan pembuatan kebijakan yang cerdas,” menurut Changyong Rhee, Direktur Departemen Asia dan Pasifik IMF.

Ekonomi-ekonomi yang Dinamis

  • Proyeksi pertumbuhan di  Tiongkok  tetap pada 6,6 persen untuk 2018 dan diharapkan menjadi moderat hingga 6,2 persen pada tahun 2019, dengan sebagian peningkatan risiko jangka menengah yang mencerminkan laju penurunan utang (deleveraging) yang melambat saat lembaga-lembaga berwenang menerapkan stimulus untuk mengimbangi dampak langkah-langkah perdagangan.
  • Pertumbuhan Jepang pada tahun 2018 telah mengalami penurunan dari 1,2 persen ke 1,1 persen, mencerminkan output triwulanan yang beragam.
  • Di India, ekonomi diproyeksi tumbuh pada 7.3 persen pada Tahun Anggaran (TA)2018/19 dan 7.4 persen pada TA 2019/20, direvisi turun masing-masing sebesar 0.1 dan 0.4 poin persentase, karena harga minyak yang meningkat dan pengetatan kebijakan moneter lebih lanjut.
  • Pertumbuhan di negara-negara ASEAN-4 (Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand) kehilangan momentum pada paruh pertama 2018—kecuali di Thailand—dan telah direvisi turun untuk tahun 2019.
  • Di sebagian besar negara lain di kawasan ini, termasuk negara-negara kecil dan negara-negara Kepulauan Pasifik, pertumbuhan diperkirakan naik, mencapai 4,1 persen untuk tahun 2019.

Risiko di hadapan

Berdasarkan laporan ini, terdapat beberapa risiko penurunan perkiraan baik di jangka pendek maupun menengah. Ketegangan perdagangan yang berlanjut dapat lebih lanjut menekan kepercayaan bisnis, merugikan pasar-pasar keuangan, mengganggu rantai pasokan, dan melemahkan investasi dan perdagangan di kawasan.

Jika semua dampak-dampak ini mewujud dan semua tarif yang diusulkan diterapkan, PDB Asia dapat mengalami penurunan sebesar 0,9 persen selama beberapa tahun depan, demikian menurut penelitian IMF. Proteksionisme yang meningkat juga dapat membuat barang konsumen yang biasa diperdagangkan—seperti barang-barang elektronik—menjadi kurang terjangkau.

Selanjutnya, Asia cukup rentan terhadap kondisi keuangan global,  yang dipicu oleh tingkat suku bunga AS yang lebih tinggi, pelemahan minat terhadap risiko yang mendadak, peningkatan ketegangan perdagangan, dan ketidakpastian politik dan kebijakan.

 

Analisis dalam kajian regional terkini menyatakan bahwa kondisi keuangan yang lebih ketat dapat menurunkan output Asia sebesar hingga tiga perempat poin persentase. Volatilitas pasar keuangan yang sudah terlihat di sebagian negara-negara kekuatan ekonomi baru dapat semakin parah, dengan limpasan negatif ke Asia melalui berkurangnya aliran modal dan lebih tingginya biaya pendanaan.

Negara-negara Asia juga mengalami risiko domestik, termasuk dari utang rumah tangga dan korporasi yang tinggi di Korea, Singapura, dan banyak negara-negara lain, pasar ril estat yang mengalami inflasi di Australia dan Hong Kong SAR, dan risiko dari melambatnya implementasi reformasi di India.

Selain itu, kebijakan-kebijakan Tiongkok telah fokus pada penanganan kerentanan keuangan perekonomiannya yang signifikan dan telah berlangsung lama. Namun pergeseran prioritas menuju stabilisasi pertumbuhan dapat berarti kemajuan yang lebih lambat dalam hal penurunan utang dan risiko jangka menengah yang semakin tinggi untuk Tiongkok dan seluruh kawasan.

Menjaga pertumbuhan dan membangun kesejahteraan

Untuk memperkuat daya tahan dan menangani risiko penurunan yang semakin berkembang, ekonomi-ekonomi di Asia perlu mengadopsi kebijakan-kebijakan yang mendukung stabilitas keuangan dan mempertahankan pertumbuhan. Dengan adanya keragaman yang luas di kawasan ini, prioritas kebijakan berbeda antar perekonomian.

Misalnya, laporan ini merekomendasikan untuk memungkinkan nilai tukar bergerak fleksibel dan berlaku sebagai peredam goncangan, dengan intervensi nilai tukar yang digunakan hanya untuk menghadapi kondisi pasar yang tidak beraturan.

Hal ini akan mendukung pembuatan keputusan kebijakan moneter independen untuk menangani inflasi dan sasaran-sasaran domestik, dengan langkah-langkah yang terarah— kebijakan makroprudensial—untuk melindungi stabilitas keuangan.  

Saat ini, inflasi yang rendah dan kesenjangan output yang negatif di sebagian besar negara ekonomi maju di kawasan, kebijakan moneter sebaiknya secara umum tetap akomodatif. Namun di mana inflasi meningkat, atau di mana volatilitas aliran modal tetap ada dan neraca menunjukkan currency mismatches yang signifikan, peningkatan suku bunga adalah langkah yang tepat.

Melihat selepas jangka pendek, Asia akan dapat memperoleh manfaat dari reformasi-reformasi yang mengatasi tantangan-tantangan kawasan ini, dan memastikan pertumbuhan yang terjaga dan inklusif.

Misalnya, laporan ini menunjukkan bahwa perdagangan regional dan liberalisasi investasi (penghapusan batasan regulasi) terutama di bidang jasa, dapat mendorong prospek Asia dan mengimbangi dampak ketegangan perdagangan global. Bahkan, analisis kami menunjukkan bahwa liberalisasi dapat mendorong PDB Asia hingga 15 persen dalam jangka panjang.

 

Laporan ini juga menemukan bahwa penurunan dinamisme perushaan—berkurangnya perusahaan-perusahaan muda, meningkatnya apa yang disebut sebagai perusahaan zombie yang mengalami masalah keuangan—telah memainkan peran dalam penurunan pertumbuhan produktivitas di Asia. Langkah-langkah untuk mendorong masuk dan keluarnya perusahaan dapat mendukung pertumbuhan perekonomian.

Lebih lanjut, kajian regional menyoroti dampak digitalisasi yang signifikan terhadap kawasan ini. Misalnya, inovasi digital mencakup hampir sepertiga pertumbuhan per kapita Asia selama dua dekade terakhir.

Untuk memastikan bahwa kawasan ini dapat memperoleh manfaat dari deviden digital, para pembuat kebijakan akan perlu meningkatkan pendidikan, infrastruktur, dan lingkungan regulasi. Pada saat yang sama, disrupsi digital—seperti pekerja yang tergusur akibat otomasi—perlu ditangani, dan risiko stabilitas keuangan dari tekfin (fintech) harus dikelola.

Hal-hal tersebut merupakan tantangan-tantangan yang serius, namun bukan tidak dapat teratasi. Dengan pembuatan kebijakan yang tetap baik, Asia seharusnya memiliki prospek yang baik untuk tetap menjadi yang terdepan dalam pertumbuhan global selama dekade ke depan dan seterusnya.

 



Baca laporannya
Baca laporannya